Masjid yang terletak di desa Kohod, Tanjung Burung - Tangerang ini merupakan masjid yang dimiliki oleh Majelis Zikir Assamawaat. Majelis ini sudah memiliki lahan yang lokasinya berada di tengah-tengah tambak, rencananya masjid ini dibangun di atas hamparan air yang luas itu.
Pihak Majelis pada awalnya sudah punya konsep segidelapan, dan ingin agar konsep itu diterapkan dalam desain. Namun, konsep ini diterjemahkan tidak secara literal, dibuat secara lebih konseptual dan kontekstual. Karena jika dipahami secara literal, bentuk segidelapan tentunya kurang optimal dalam pemanfaatan ruang, akan ada ruang-ruang sisa yang “terbuang”.
Tanpa Kubah
Masjid Assamawaat direncanakan dibuat tanpa kubah. Seperti kita ketahui, kubah menjadi ciri masjid di dunia yang paling dikenal dan paling populer. Meskipun demikian, kubah bukanlah sesuatu yang wajib ada. Justru orientasinya ke arah qiblat yang menjadi syarat wajib sebuah Masjid. Ada beberapa contoh masjid yang tidak memakai kubah, seperti masjid Assyafah di Singapura dan Masjid Faisal di Pakistan, di Indonesia ada Masjid Salman ITB dan Masjid Al-Irsyad di Bandung.
Menurut seorang pemikir Islam bernama Ismail Serageldin (1990), ada 5 pendekatan dalam perancangan arsitektur Masjid, yaitu: PendekatanPopular/Vernacular, Pendekatan Traditional, Pendekatan Populist, Pendekatan Adaptive Modern, dan pendekatan Modernist.
Dalam pendekatan popular/vernacular, masjid yang memang dibuat oleh para pembangun lokal (traditional builder), contohnya Masjid Yaama di Niger dan Masjid Niono di Mali. Pendekatan traditionalist, dibuat oleh arsitek dengan menggunakan kaidah arsitektur tradisional, termasuk teknik dan proporsinya, seperti masjid di New Gourna, Mesir oleh Hassan Fathy. Pendekatan populist, ketika kita menemui masjid yang kelihatannya ada semantic disorder (ketidakteraturan makna), tetapi tak masalah bagi penggunanya, contohnya Masjid Bhong di Pakistan. Pendekatan adaptive modern, masjid modern sebagai gema dari bentukan tradisional, contohnya Masjid Said Naum, Jakarta. Pendekatan modernist yaitu memisahkan diri dari yang tradisional, misalnya Sherefudin’s White Mosque di Visoko, Bosnia-Herzegovina.
Masjid Assamawaat ini memakai pendekatan Modernist, dalam arti ingin membuat pemisahan dari yang tradisional (tajug atau kubah). Bentuknya berupa kotak yang ambigu. Pertama, kotak sebagai bentukan platonic solidyang simple dan fungsional. Kedua, kotak sebagai analogi Ka’bah yang memang juga berbentuk kotak/kubus.
Perlambang Ka’bah
Bentuk masjid menggunakan analogi Ka’bah, karena Majelis Zikir Assamawaatini juga menggunakan lambang Ka’bah, maka elemen inilah yang dieksplor lebih jauh. Agar kesan Islami menjadi lebih kuat, maka bagian sisi luar façadebangunan masjid dihias dengan ornamen arabes (arabesque) yang berciri Islam. Jadi, tradisi islam sebetulnya bukan hanya pada penggunaan kubah, tetapi di sini lebih ditekankan pada ornamennya yang menghiasi bidang-bidang façade masjid.
Bagian Mihrab masjid didesain terbuka dan pada orientasi qiblat diberi bentukan Ka’bah yang diperkecil, tetapi dengan proporsi seperti aslinya. Ka’bah kecil sebagai orientasi qiblat ini diletakkan di atas kolam di sisi barat masjid. Ka’bah kecil ini posisinya dibuat agak miring sehingga jama’ah bisa melihat miniatur Ka’bah secara perspektif dan lebih terasa efek tiga dimensinya, sehingga semakin membuat para jamaah menjadi lebih khusyu’ dalam beribadah. Ini juga merupakan TOR spesifik dari majelis bahwa di mihrab harus ada gambar Ka’bah, dan di sini justru diwujudkan secara tiga dimensional.
Jalan Thawaf: Keseimbangan Ritual-Sosial
Masjid merupakan pusat kegiatan spiritual dengan ritual ibadah yang dilakukan di dalamnya. Namun, masjid juga punya fungsi sosial, yakni menjadi tempat orang-orang sekitar untuk berinteraksi. Untuk memperkuat sisi sosial ini, maka di sekeliling masjid diberi jalan memutar yang melingkari masjid. Jalan ini berupa cor-coran beton denga lebar sekitar 4 meter.
Sebenarnya, ide ini juga berasal dari Ka’bah di Masjidil Haram, yang dikelilingi umat Islam yang ber-thawaf ketika melakukan Haji/Umrah. Ada unsur ambigu juga, antara terinspirasi thawaf dan juga sebagai jalan setapak keliling. Kedua fungsi itu bisa berjalan beriringan. Bahwa berada di sekeliling masjid mau tidak mau pasti berada dalam jangkauan aura Masjid itu sendiri. Jadi, ketika berfungsi sebagai elemen sosial, tempat rekreasi, melihat-lihat pemandangan, memancing, bermain dan lain-lain, tetap berada dalam jangkauan ibadah di Masjid.
Minaret (menara) masjid Assamawaat menjadi unsur vertikal sebagai penanda keberadaan masjid. Di menara ini terdapat lubag-lubang jendela dengan interval yang disesuaikan dengan jumah rekaat sholat, yakni 2 meter, 4 meter, 4 meter, 3 meter dan 4 meter. Posisi menara diatur sedemikian rupa sehingga terlihat lebih menyatu dengan masjid.
Fleksibilitas Ruang Mikro-Makro
Hubungan ruang mikro (di dalam dan sekitar masjid) dan ruang makro (di luar masjid) menjadi lebih erat dengan bukaan lebar ke arah timur. Ketika Majelis Zikir Assamawaat mengadakan acara yang besar, maka area masjid ini bisa menjadi luas, bahkan bisa sampai ke area taman yang ada di depannya.
Lantai ruang utama memakai lantai kayu jati, yang memang sudah dimiliki oleh pihak majelis. Sedangkan decking serambi menggunakan kayu ulin. Ruang dalam masjid ini tidak menggunakan air conditioner (AC), karena lokasinya yang terbuka dan ada banyak air di sekelilingnya sebagai natural cooling. Tempat wudlu wanita diposisikan di sebelah kiri, sedangkan tempat wudlu laki-laki di sebelah kanan, ini dimaksud agar tempat wudlu tidak mengganggu terwujudnya ruang mikro-makro dari masjid ini.
Bibliografi
Serageldin, Ismail (1990) Contemporary Expression of Islam in Buildings: The Religious and The Secular dalam Proceeding of International Seminar sponsored by The Aga Khan Award for Architecture and The Indonesian Institut of Architects, Jakarta and Yogyakarta, 15 – 19 October 1990
Masjid yang terletak di desa Kohod, Tanjung Burung - Tangerang ini merupakan masjid yang dimiliki oleh Majelis Zikir Assamawaat. Majelis ini sudah memiliki lahan yang lokasinya berada di tengah-tengah tambak, rencananya masjid ini dibangun di atas hamparan air yang luas itu.
Pihak Majelis pada awalnya sudah punya konsep segidelapan, dan ingin agar konsep itu diterapkan dalam desain. Namun, konsep ini diterjemahkan tidak secara literal, dibuat secara lebih konseptual dan kontekstual. Karena jika dipahami secara literal, bentuk segidelapan tentunya kurang optimal dalam pemanfaatan ruang, akan ada ruang-ruang sisa yang “terbuang”.
Tanpa Kubah
Masjid Assamawaat direncanakan dibuat tanpa kubah. Seperti kita ketahui, kubah menjadi ciri masjid di dunia yang paling dikenal dan paling populer. Meskipun demikian, kubah bukanlah sesuatu yang wajib ada. Justru orientasinya ke arah qiblat yang menjadi syarat wajib sebuah Masjid. Ada beberapa contoh masjid yang tidak memakai kubah, seperti masjid Assyafah di Singapura dan Masjid Faisal di Pakistan, di Indonesia ada Masjid Salman ITB dan Masjid Al-Irsyad di Bandung.
Menurut seorang pemikir Islam bernama Ismail Serageldin (1990), ada 5 pendekatan dalam perancangan arsitektur Masjid, yaitu: PendekatanPopular/Vernacular, Pendekatan Traditional, Pendekatan Populist, Pendekatan Adaptive Modern, dan pendekatan Modernist.
Dalam pendekatan popular/vernacular, masjid yang memang dibuat oleh para pembangun lokal (traditional builder), contohnya Masjid Yaama di Niger dan Masjid Niono di Mali. Pendekatan traditionalist, dibuat oleh arsitek dengan menggunakan kaidah arsitektur tradisional, termasuk teknik dan proporsinya, seperti masjid di New Gourna, Mesir oleh Hassan Fathy. Pendekatan populist, ketika kita menemui masjid yang kelihatannya ada semantic disorder (ketidakteraturan makna), tetapi tak masalah bagi penggunanya, contohnya Masjid Bhong di Pakistan. Pendekatan adaptive modern, masjid modern sebagai gema dari bentukan tradisional, contohnya Masjid Said Naum, Jakarta. Pendekatan modernist yaitu memisahkan diri dari yang tradisional, misalnya Sherefudin’s White Mosque di Visoko, Bosnia-Herzegovina.
Masjid Assamawaat ini memakai pendekatan Modernist, dalam arti ingin membuat pemisahan dari yang tradisional (tajug atau kubah). Bentuknya berupa kotak yang ambigu. Pertama, kotak sebagai bentukan platonic solidyang simple dan fungsional. Kedua, kotak sebagai analogi Ka’bah yang memang juga berbentuk kotak/kubus.
Perlambang Ka’bah
Bentuk masjid menggunakan analogi Ka’bah, karena Majelis Zikir Assamawaatini juga menggunakan lambang Ka’bah, maka elemen inilah yang dieksplor lebih jauh. Agar kesan Islami menjadi lebih kuat, maka bagian sisi luar façadebangunan masjid dihias dengan ornamen arabes (arabesque) yang berciri Islam. Jadi, tradisi islam sebetulnya bukan hanya pada penggunaan kubah, tetapi di sini lebih ditekankan pada ornamennya yang menghiasi bidang-bidang façade masjid.
Bagian Mihrab masjid didesain terbuka dan pada orientasi qiblat diberi bentukan Ka’bah yang diperkecil, tetapi dengan proporsi seperti aslinya. Ka’bah kecil sebagai orientasi qiblat ini diletakkan di atas kolam di sisi barat masjid. Ka’bah kecil ini posisinya dibuat agak miring sehingga jama’ah bisa melihat miniatur Ka’bah secara perspektif dan lebih terasa efek tiga dimensinya, sehingga semakin membuat para jamaah menjadi lebih khusyu’ dalam beribadah. Ini juga merupakan TOR spesifik dari majelis bahwa di mihrab harus ada gambar Ka’bah, dan di sini justru diwujudkan secara tiga dimensional.
Jalan Thawaf: Keseimbangan Ritual-Sosial
Masjid merupakan pusat kegiatan spiritual dengan ritual ibadah yang dilakukan di dalamnya. Namun, masjid juga punya fungsi sosial, yakni menjadi tempat orang-orang sekitar untuk berinteraksi. Untuk memperkuat sisi sosial ini, maka di sekeliling masjid diberi jalan memutar yang melingkari masjid. Jalan ini berupa cor-coran beton denga lebar sekitar 4 meter.
Sebenarnya, ide ini juga berasal dari Ka’bah di Masjidil Haram, yang dikelilingi umat Islam yang ber-thawaf ketika melakukan Haji/Umrah. Ada unsur ambigu juga, antara terinspirasi thawaf dan juga sebagai jalan setapak keliling. Kedua fungsi itu bisa berjalan beriringan. Bahwa berada di sekeliling masjid mau tidak mau pasti berada dalam jangkauan aura Masjid itu sendiri. Jadi, ketika berfungsi sebagai elemen sosial, tempat rekreasi, melihat-lihat pemandangan, memancing, bermain dan lain-lain, tetap berada dalam jangkauan ibadah di Masjid.
Minaret (menara) masjid Assamawaat menjadi unsur vertikal sebagai penanda keberadaan masjid. Di menara ini terdapat lubag-lubang jendela dengan interval yang disesuaikan dengan jumah rekaat sholat, yakni 2 meter, 4 meter, 4 meter, 3 meter dan 4 meter. Posisi menara diatur sedemikian rupa sehingga terlihat lebih menyatu dengan masjid.
Fleksibilitas Ruang Mikro-Makro
Hubungan ruang mikro (di dalam dan sekitar masjid) dan ruang makro (di luar masjid) menjadi lebih erat dengan bukaan lebar ke arah timur. Ketika Majelis Zikir Assamawaat mengadakan acara yang besar, maka area masjid ini bisa menjadi luas, bahkan bisa sampai ke area taman yang ada di depannya.
Lantai ruang utama memakai lantai kayu jati, yang memang sudah dimiliki oleh pihak majelis. Sedangkan decking serambi menggunakan kayu ulin. Ruang dalam masjid ini tidak menggunakan air conditioner (AC), karena lokasinya yang terbuka dan ada banyak air di sekelilingnya sebagai natural cooling. Tempat wudlu wanita diposisikan di sebelah kiri, sedangkan tempat wudlu laki-laki di sebelah kanan, ini dimaksud agar tempat wudlu tidak mengganggu terwujudnya ruang mikro-makro dari masjid ini.
Bibliografi
Serageldin, Ismail (1990) Contemporary Expression of Islam in Buildings: The Religious and The Secular dalam Proceeding of International Seminar sponsored by The Aga Khan Award for Architecture and The Indonesian Institut of Architects, Jakarta and Yogyakarta, 15 – 19 October 1990
Masjid yang terletak di desa Kohod, Tanjung Burung - Tangerang ini merupakan masjid yang dimiliki oleh Majelis Zikir Assamawaat. Majelis ini sudah memiliki lahan yang lokasinya berada di tengah-tengah tambak, rencananya masjid ini dibangun di atas hamparan air yang luas itu.
Pihak Majelis pada awalnya sudah punya konsep segidelapan, dan ingin agar konsep itu diterapkan dalam desain. Namun, konsep ini diterjemahkan tidak secara literal, dibuat secara lebih konseptual dan kontekstual. Karena jika dipahami secara literal, bentuk segidelapan tentunya kurang optimal dalam pemanfaatan ruang, akan ada ruang-ruang sisa yang “terbuang”.
Tanpa Kubah
Masjid Assamawaat direncanakan dibuat tanpa kubah. Seperti kita ketahui, kubah menjadi ciri masjid di dunia yang paling dikenal dan paling populer. Meskipun demikian, kubah bukanlah sesuatu yang wajib ada. Justru orientasinya ke arah qiblat yang menjadi syarat wajib sebuah Masjid. Ada beberapa contoh masjid yang tidak memakai kubah, seperti masjid Assyafah di Singapura dan Masjid Faisal di Pakistan, di Indonesia ada Masjid Salman ITB dan Masjid Al-Irsyad di Bandung.
Menurut seorang pemikir Islam bernama Ismail Serageldin (1990), ada 5 pendekatan dalam perancangan arsitektur Masjid, yaitu: PendekatanPopular/Vernacular, Pendekatan Traditional, Pendekatan Populist, Pendekatan Adaptive Modern, dan pendekatan Modernist.
Dalam pendekatan popular/vernacular, masjid yang memang dibuat oleh para pembangun lokal (traditional builder), contohnya Masjid Yaama di Niger dan Masjid Niono di Mali. Pendekatan traditionalist, dibuat oleh arsitek dengan menggunakan kaidah arsitektur tradisional, termasuk teknik dan proporsinya, seperti masjid di New Gourna, Mesir oleh Hassan Fathy. Pendekatan populist, ketika kita menemui masjid yang kelihatannya ada semantic disorder (ketidakteraturan makna), tetapi tak masalah bagi penggunanya, contohnya Masjid Bhong di Pakistan. Pendekatan adaptive modern, masjid modern sebagai gema dari bentukan tradisional, contohnya Masjid Said Naum, Jakarta. Pendekatan modernist yaitu memisahkan diri dari yang tradisional, misalnya Sherefudin’s White Mosque di Visoko, Bosnia-Herzegovina.
Masjid Assamawaat ini memakai pendekatan Modernist, dalam arti ingin membuat pemisahan dari yang tradisional (tajug atau kubah). Bentuknya berupa kotak yang ambigu. Pertama, kotak sebagai bentukan platonic solidyang simple dan fungsional. Kedua, kotak sebagai analogi Ka’bah yang memang juga berbentuk kotak/kubus.
Perlambang Ka’bah
Bentuk masjid menggunakan analogi Ka’bah, karena Majelis Zikir Assamawaatini juga menggunakan lambang Ka’bah, maka elemen inilah yang dieksplor lebih jauh. Agar kesan Islami menjadi lebih kuat, maka bagian sisi luar façadebangunan masjid dihias dengan ornamen arabes (arabesque) yang berciri Islam. Jadi, tradisi islam sebetulnya bukan hanya pada penggunaan kubah, tetapi di sini lebih ditekankan pada ornamennya yang menghiasi bidang-bidang façade masjid.
Bagian Mihrab masjid didesain terbuka dan pada orientasi qiblat diberi bentukan Ka’bah yang diperkecil, tetapi dengan proporsi seperti aslinya. Ka’bah kecil sebagai orientasi qiblat ini diletakkan di atas kolam di sisi barat masjid. Ka’bah kecil ini posisinya dibuat agak miring sehingga jama’ah bisa melihat miniatur Ka’bah secara perspektif dan lebih terasa efek tiga dimensinya, sehingga semakin membuat para jamaah menjadi lebih khusyu’ dalam beribadah. Ini juga merupakan TOR spesifik dari majelis bahwa di mihrab harus ada gambar Ka’bah, dan di sini justru diwujudkan secara tiga dimensional.
Jalan Thawaf: Keseimbangan Ritual-Sosial
Masjid merupakan pusat kegiatan spiritual dengan ritual ibadah yang dilakukan di dalamnya. Namun, masjid juga punya fungsi sosial, yakni menjadi tempat orang-orang sekitar untuk berinteraksi. Untuk memperkuat sisi sosial ini, maka di sekeliling masjid diberi jalan memutar yang melingkari masjid. Jalan ini berupa cor-coran beton denga lebar sekitar 4 meter.
Sebenarnya, ide ini juga berasal dari Ka’bah di Masjidil Haram, yang dikelilingi umat Islam yang ber-thawaf ketika melakukan Haji/Umrah. Ada unsur ambigu juga, antara terinspirasi thawaf dan juga sebagai jalan setapak keliling. Kedua fungsi itu bisa berjalan beriringan. Bahwa berada di sekeliling masjid mau tidak mau pasti berada dalam jangkauan aura Masjid itu sendiri. Jadi, ketika berfungsi sebagai elemen sosial, tempat rekreasi, melihat-lihat pemandangan, memancing, bermain dan lain-lain, tetap berada dalam jangkauan ibadah di Masjid.
Minaret (menara) masjid Assamawaat menjadi unsur vertikal sebagai penanda keberadaan masjid. Di menara ini terdapat lubag-lubang jendela dengan interval yang disesuaikan dengan jumah rekaat sholat, yakni 2 meter, 4 meter, 4 meter, 3 meter dan 4 meter. Posisi menara diatur sedemikian rupa sehingga terlihat lebih menyatu dengan masjid.
Fleksibilitas Ruang Mikro-Makro
Hubungan ruang mikro (di dalam dan sekitar masjid) dan ruang makro (di luar masjid) menjadi lebih erat dengan bukaan lebar ke arah timur. Ketika Majelis Zikir Assamawaat mengadakan acara yang besar, maka area masjid ini bisa menjadi luas, bahkan bisa sampai ke area taman yang ada di depannya.
Lantai ruang utama memakai lantai kayu jati, yang memang sudah dimiliki oleh pihak majelis. Sedangkan decking serambi menggunakan kayu ulin. Ruang dalam masjid ini tidak menggunakan air conditioner (AC), karena lokasinya yang terbuka dan ada banyak air di sekelilingnya sebagai natural cooling. Tempat wudlu wanita diposisikan di sebelah kiri, sedangkan tempat wudlu laki-laki di sebelah kanan, ini dimaksud agar tempat wudlu tidak mengganggu terwujudnya ruang mikro-makro dari masjid ini.
Bibliografi
Serageldin, Ismail (1990) Contemporary Expression of Islam in Buildings: The Religious and The Secular dalam Proceeding of International Seminar sponsored by The Aga Khan Award for Architecture and The Indonesian Institut of Architects, Jakarta and Yogyakarta, 15 – 19 October 1990